Jumat, 20 November 2015

Duka Dibawah Birunya Langit

Ini salah satu catatan perjalanan saya ke kepulauan Lombok di bulan November tahun 2015. 

Saya berangkat bersama isteri dari Jakarta di hari Jumat pagi. Saat itu di Jakarta sudah mulai turun hujan setiap malamnya. Mau sekedar mengingatkan juga kalau saat itu hampir di seluruh wilayah di nusantara sudah lama tidak turun hujan. 

Di beberapa wilayah di pulau Jawa, banyak masyarakat yang sudah melakasanakan sholat istighosah (sholat minta hujan). Sebelumnya, di daerah Sumatera dan Kalimantan baru saja mengalami musibah kabut asap akibat kebakaran hutan. Musim kering kali ini nampaknya sudah merata di berbagai daerah di nusantara kita.

Hampir saja kami tidak dapat pergi ke Lombok karena sepekan sebelumnya, pulau ini juga mengalami musibah akibat meletusnya gunung Barujari, si anak gunung Rinjani. Walau gunung tersebut terletak di sebelah utara dari Lombok Barat, debu yang dimuntahkannya menutupi Bandara Internasional Lombok (BIL) yang letaknya ada di Lombok Timur sehingga pemerintah setempat terpaksa menutup bandara ini selama seminggu.

Singkat cerita, setelah adanya fenomena alam di berbagai wilayah di nusantara, alhamdulillah kami diizinkan untuk mendarat di BIL dalam cuaca cerah dengan sedikit berawan. Birunya langit memang sangat memikat hati, terlebih lagi bila mengingat pulau ini mempunyai pantai-pantai yang sangat indah lengkap dengan pasir putih yang membentang luas yang di kelilingi oleh bukit-bukit yang menjulang. Benar-benar membuat penasaran.

Ketika mendarat, kami langsung dijemput untuk segera menuju ke kota Mataram yang letaknya ada di Lombok Barat. "Perjalanannya butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke Mataram karena BIL terletak di Lombok Timur," jelas supir yang menjemput kami.

Baru saja mobil kami keluar dari bandara, saya langsung terkejut ketika melihat pemandangan di pulau ini. "Lho, ini apa pak? ...Kekeringan?"

Saya masih tidak percaya dengan apa yang saya lihat, pak supir pun tidak dapat menjelaskannya. 



Sejauh mata memandang, berhektar-hektar sawah yang sudah berpetak-petak seluruhnya berwarna coklat. Tidak ada lagi hijau daun. Tidak terlihat lagi adanya air mengalir sampai jauh. Bahkan di selokan-selokan dan parit-parit irigasi. Semua kering. Saya juga sempat melewati beberapa waduk yang semuanya kering. Sampai-sampai kita dapat melihat tanah yang berkerak di dasar waduk tersebut. Pemandangan inilah yang saya lihat dari mulai keluar bandara hingga memasuki wilayah Lombok Barat.

Hari berikutnya, kami berkenalan dengan supir baru yang kemudian mengantarkan kami menjelajah pulau Lombok dari mulai bagian barat hingga ke ujung paling timur pulau ini. Dari beliau lah kami mendapat cerita dan penjelasan mengenai kepulauan ini.



Rupanya Lombok Timur (Lotim) adalah dataran tinggi yang mempunyai sistem pertanian tadah hujan. Ini lah sebabnya tanah di Lotim menjadi sangat tandus. Terlebih lagi pada saat musim kemarau yang berkepanjangan seperti tahun ini. Bukit hijau menjadi coklat. Hampir semua pohon mengering tak berdaun. Rasanya seperti sedang bersafari di pedalaman afrika.






Hal ini sangat terasa apabila anda berjalan menuju pantai Pink. Pantai yang terkenal dengan pasirnya yang luas dan berwarna merah ini terletak di bagian paling timur pulau Lombok. Daerah ini belum terjamah oleh pemerintah daerahnya sehingga sekitar 13km terakhir perjalanan kami adalah jalan bebatuan.


Disini lah letak ironi yang menyayat hati. Ada duka dibalik birunya langit. Di saat jalan mulai tak lagi beraspal, rumah penduduk mulai jarang terlihat. Yang ada hanyalah pepohonan yang kering, bukit-bukit yang tandus, jalan yang berdebu dan berbatu, dan juga tanah yang retak dan kering. Beberapa rumah masih tampak memadai namun ada juga yang terlihat hanya terbuat dari tumpukan batu, bilik bambu dan beratap sirap yang juga sudah hitam mengering. Kami juga bertemu dengan truk pembawa air bersih. Sepertinya truk ini datang beberapa kali dalam sehari. Walaupun begitu, kami tetap saja melihat antrean warga yang sedang membawa beberapa galon untuk diisi air.




Penduduk disini hanya bercocok tanam dengan sekali panen dalam setahun. Itu pun mereka tidak menjual hasil panennya melainkan mereka simpan untuk persiapan musim kering seperti saat ini. Yang kemudian mereka lakukan disaat musim kering hanyalah berternak; bagi yang mampu.

Subhanallah.
Maha Suci Allah dari apapun yang terjadi. Bila terjadi musibah di dunia ini itu adalah akibat ulah manusia itu sendiri.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar